1.
DEFENISI
DARI URTIKARIA ATAU BINTUL-BINTUL MERAH PADA KULIT
Urtikaria
adalah reaksi dari pembuluh darah berupa erupsi pada kulit yang berbatas tegas
dan menimbul (bentol), berwarna merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal.
Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik, atau berulang. Urtikaria akut
umumnya berlangsung 20 menit sampai 3 jam, menghilang dan mungkin muncul di
bagian kulit lain. Satu episode akut umumnya berlangsung 24-48 jam. Urtikaria
dapat timbul tiap hari atau intermiten, lamanya beberapa menit sampai beberapa
jam bahkan beberapa hari. Dapat terjadi pada semua umur baik laki maupun
perempuan, dengan penyebab kadang jelas, namun sebagian besar penyebabnya sulit
di ketahui. Sebagian dapat sembuh dengan sendirinya,Namun sebagian cendrung
kumat- kumatan dan berkepanjangan, sehingga tidak jarang membuat penderita
maupun dokter yang merawatnya agak frustasi/jenuh. Urtikaria yang timbul pada
usia relative lebih muda/anak-anak, dan berkaitan dengan adanya riwayat atopi
pada keluarga, reaksi alergi, dan umumnya sembuh dalam waktu kurang dari 6
minggu: disebut urtikaria akut.
Urtikaria
merupakan penyakit yang sering ditemukan, diperkirakan 3,2-12,8% dari populasi pernah
mengalami urtikaria.Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan
menimbul (bentol), berwarna merah,memutih bila ditekan, dan disertai rasa
gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik,atau berulang. Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa
hari (kurang dari 6 minggu)dan umumnya penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria
kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria
berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat berlangsung sampai
beberapa tahun. Urtikaria kronik umumnya ditemukan pada orang dewasa. Urtikaria juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu
imunologi, anafilaktoid dan penyebab fisik. Reaksi imunologi dapat diperantarai
melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II atau III. Sedangkan reaksi anafilaktoid
dapat disebabkan oleh angioedema herediter, aspirin, zat yang menyebabkan
lepasnya histamin seperti zat kontras, opiat, pelemas otot, obat vasoaktif dan makanan
(putih telur, tomat, lobster). Secara fisik, urtikaria dapat berupa
dermatografia, cold urticaria, heat urticaria, solar urticaria, pressure
urticaria, vibratory angioedema, urtikariaakuagenik dan urtikaria kolinergik.
2.
ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
1.Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik
secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,
sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau
II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast
untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.
2.Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah
telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan
semangka.
3.Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat,
hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4.Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid,
bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5.Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap,
bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik
(tipe I).
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang,
serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia,
misalnya insect repellent (penangkis
serangga), dan bahan kosmetik.
7.Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas,
faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul
beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme
atau fenomena Darier
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya
infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9.Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
10.Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun
jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant.
11.Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan
urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
PATOMEKANISME
MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT
·
Pada
gangguan urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah dermal di bawah
kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sel perivaskular, di
antaranya yang paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh
mediator yang lepas, terutama histamin, akibat degranulasi sel mast kutan atau
subkutan, dan juga leukotrien dapat berperan.
·
Histamin
akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit sehingga kulit berwarna merah (eritema). Histamin juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel,
terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan
kulit lokal. Cairan serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit
sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.
·
Bila
pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah jaringan subkutan,
biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang terjadi tidak berbatas
tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung sedikit ujung saraf
perifer, dinamakan angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka (periorbita
dan perioral).
·
Urtikaria
disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat terjadi melalui
mekanisme imun atau nonimun.
·
Degranulasi
sel mast dikatakan melalui mekanisme imun bila terdapat antigen (alergen)
dengan pembentukan antibodi atau sel yang tersensitisasi. Degranulasi sel mast
melalui mekanisme imun dapat melalui reaksi hipersensitivitas tipe I atau
melalui aktivasi komplemen jalur klasik.
·
Faktor
infeksi pada tubuh diantaranya infeksi viru (demam, batuk dan pilek) merupakan factor
pemicu pada urtikaria yang paling sering terjadi namun sering diabaikan
·
Beberapa
macam obat, makanan, atau zat kimia dapat langsung menginduksi degranulasi sel mast.
Zat ini dinamakan liberator histamin, contohnya kodein, morfin, polimiksin, zat
kimia,tiamin, buah murbei, tomat, dan lain-lain. Masih belum jelas mengapa zat
tersebut hanya merangsang degranulasi sel mast pada sebagian orang saja, tidak
pada semua orang.
·
Faktor
fisik seperti cahaya (urtikaria solar), dingin (urtikaria dingin), gesekan atau
tekanan (dermografisme), panas (urtikaria panas), dan getaran (vibrasi) dapat
langsung menginduksi degranulasi sel mast.
·
Latihan
jasmani (exercise) pada seseorang dapat pula menimbulkan urtikaria yang
dinamakan juga urtikaria kolinergik. Bentuknya khas, kecil-kecil dengan
diameter 1-3 mm dan sekitarnya berwarna merah, terdapat di tempat yang
berkeringat. Diperkirakan yang memegang peranan adalah asetilkolin yang
terbentuk, yang bersifat langsung dapat menginduksi degranulasi sel mast.
·
Faktor
psikis atau stres pada seseorang dapat juga menimbulkan urtikaria. Bagaimana mekanismenya
belum jelas.
PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena
vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi
transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga
secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance
of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Baik
faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil
untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin
sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate)
memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia
seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,
polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik
misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya
belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator.
Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan
dapat langsung merangsang sel mast.
Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi,
dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Faktor imunologik lebih
berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat
pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada
antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I
(anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan,
aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan
anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya
tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi
pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga
dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi
misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan
sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.
GEJALA DAN TANDA
Ø Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:
·
Gatal,
rasa terbakar, atau tertusuk.
·
Biduran
berwarna merah muda sampai merah.
·
Lesi
dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul
seterusnya.
·
Serangan
berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan
nyeri kepala.
Ø Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:
·
Klinis
tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat.
·
Bentuknya
dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
·
Jika ada reaksi anafilaksis, perlu
diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory distress, stridor, dan
gastrointestinal distress.
·
Jika
ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka
merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan
pigmentasi.
·
Pemeriksaan
untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan diamati
pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
·
Edema
jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
3.
ANATOMI
DAN FISIOLOGI KULIT
ANATOMI KULIT
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh.
Lapisan luar kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau
korium.
Kulit menutupi dan melindungi
permukaan tubuh dan bersambung dengan selaput lender yang melapisi
rongga-rongga dan lubang-lubang masuk. Kulit mempunyai banyak fungsi;
didalamnya terdapat ujung saraf peraba,membanu mengatur suhu dan mengendalikan
hilangnya air dari tubuh dan mempunyai sedikit kemampuan exkretori, sekretori
dan abrorpsi.
Kulit dibagi menjadi dua lapisan:
1. Epidermis atau kutikula
2. Dermis atau korium
Kulit dibagi menjadi dua lapisan:
1. Epidermis atau kutikula
2. Dermis atau korium
Epidermis tersusun atas
epitalium berlapis dan terdiri atas sejumlah lapisan sel yang disusun atas dua
lapis yang jelas tampak; selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis.
Lapisan Epidermal. Lapisan tanduk terletak paling luar dan tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis. Stratum korneum. Selnya tipis, datar, seperti sisik dan terus-menerus dilepaskan. Stratum lusidum. Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada intinya.Stratum granulosum. Selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan juga granulosum. Zona Garminalis terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapis sel apitel yang berbentuk tegas . Sel beduri, yaitu sel dengan fibrin halus yang menyambung sel yang satu dengan yang lainnya di dalam lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan berduri. Sel basal, yang terus menerus memproduksi sel epidermis baru.
Lapisan Epidermal. Lapisan tanduk terletak paling luar dan tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis. Stratum korneum. Selnya tipis, datar, seperti sisik dan terus-menerus dilepaskan. Stratum lusidum. Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada intinya.Stratum granulosum. Selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan juga granulosum. Zona Garminalis terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapis sel apitel yang berbentuk tegas . Sel beduri, yaitu sel dengan fibrin halus yang menyambung sel yang satu dengan yang lainnya di dalam lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan berduri. Sel basal, yang terus menerus memproduksi sel epidermis baru.
Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat
yang elastic. Dermis tersusun papil-papil kecil yang terisi ranting-ranting
pembuluh darah kapiler. Ujung akhir saraf sensoris, yaitu putting teraba,
terletak didalam dermis.Kelenjar keringat ada yang disebut pori dan kelenjar
serumen. Pelengkap kulit Rambut, kuku, dan kelenjar sebaseus dianggap sebagai
tambahan pada kulit.
FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi
sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam
berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh
(termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit
adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik,
ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit
berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
4.
MANIFESTASI
KLINIS
·
Klinis tampak bentol (plaques edemateus)
multipel yang berbatas tegas, berwarna merah dan gatal. Bentol dapat pula
berwarna putih di tengah yang dikelilingi warna merah. Warna merah bila ditekan akan memutih. Ukuran tiap lesi bervariasi dari
diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk
sirkular atau serpiginosa (merambat).
·
Tiap lesi akan menghilang setelah 1 sampai 48
jam, tetapi dapat timbul lesi baru.
·
Pada dermografisme lesi sering berbentuk
linear, pada urtikaria solar lesi terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Pada
urtikaria dingin dan panas lesi akan terlihat pada daerah yang terkena dingin
atau panas. Lesi urtikaria kolinergik adalah kecil-kecil dengan diameter 1-3
milimeter dikelilingi daerah warna merah dan terdapat di daerah yang
berkeringat. Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai angioedema yaitu
pembengkakan difus yang tidak gatal dan tidak pitting dengan predileksi di
muka, daerah periorbita dan perioral, kadang-kadang di genitalia. Kadangkadang
pembengkakan dapat juga terjadi di faring atau laring sehingga dapat mengancam
jiwa.
·
Timbulnya
bintik-bintik merah atau lebih pucat pada kulit. Bintik-bintik merah ini dapat
mengalami edema sehingga tampak seperti benjolan.
·
Sering
disertai rasa gatal yang hebat dan suhu yang > panas pada sekitar benjolan
tersebut.
·
Terjadi
angiodema, dimana edema luas kedalam jaringan subkutan, terutama disekitar
mata, bibir dan di dalam orofaring.
·
Adanya pembengkakan dapat menghawatirkan,
kadang-kadang bisa menutupi mata secara keseluruhan dan mengganggu jalan udara
untuk pernafasan.
5.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
·
Lokalisasi:
badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
·
Efloresensi:
eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-kadang
bagian tengah tampak pucat.
·
Ukuran:
beberapa milimeter hingga sentimeter.
·
Bentuk:
papular, lentikular, numular, dan plakat.
·
Dermographism.
·
Didapatkan:
penderita dengan kesan sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah
110/70 mmHg, denyut nadi 92 x/menit reguler isi cukup, frekuensi pernafasan
20x/ menit dan tempratur aksila 37.8º C. Pada pemeriksaan kepala: tidak
didapatkan kesan anemis maupun ikterus, sembab pada kedua kelopak mata /
angioedema, bentol kemerahan dengan ukuran bervareasi dan gatal pada kulit
muka. Pemeriksaan THT kesan tenang. JVP normal. Tidak dijumpai pembesaran
kelenjar limfe.
Gambar 2. Lesi di punggung
·
Pemeriksaan
dada didapatkan ; bentuk dada normal, tersebar bentol kemerahan ukuran dan
bentuk yangbervariasi tersebar diseluruh kulit dada dan punggung. Tersebar
bentol kemerahan; ukuran dan bentuk bervareasi pada kulit dinding abdomen
maupun pinggang, hati dan limfa tidak teraba. Ekstremitas tidak dijumpai edema,
hanya ada bentol kemerahan; ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi. Akral
hangat tidak ada sianosis. Pemeriksaan Jantung dan Paru dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen; bentuk normal/agak buncit(gemuk ).
Gambaran Histopatologi
Pemeriksaan biopsi kulit (gambar 3); Makros : satu buah jaringan
biopsi kulit diameter 4
mm, putih abu-abu, padat kenyal. Mikros : tampak jaringan biopsi
kulit, epidermis menunjukkan hiperkeratosis ringan. Pada dermis tampak edema,
dengan serbukan ringan sel radang. limfosit di perivaskuler ( vaskulitis ).
Tidak tampak tanda ganas pada sediaan ini. Kesimpulan: gambaran ini bisa
ditemukan pada urtikaria kronik.
6.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Diperlukan pada
urtikaria kronik/berulang, tidak diperlukan pada urtikaria akut. Pemeriksaan
yang biasa dilakukan yaitu pemeriksaan urinalisis (mencari fokal infeksi
di saluran kemih), feses rutin (mencari adanya parasit cacing), pemeriksaan
darah tepi (LED dapat meningkat), pemeriksaan kadar IgE total, pemeriksaan
hitung eosinofil total (eosinofilia), pemeriksaan uji kulit alergen
,dermografisme, uji tempel es atau IgE spesifik dan kadar komplemen (C3, C4)
untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari urtikaria, pada pasien yang memiliki
riwayat angioedema pada keluarga.
7.
PENATALAKSANAAN
Edukasi pasien
untuk menghindari pencetus (yang bisa diketahui). Obat opiat dan salisilat
dapat mengaktivasi sel mast tanpa melalui IgE. Pada urtikaria generalisata
mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000 dengan dosis 0,01 ml/kg
intramuskular (maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan antihistamin penghambat H1
seperti CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali yang dikombinasi
dengan HCL efedrin 1 mg/tahun/kali sehari 3 kali. (Lihat penanggulangan
anafilaksis). Bila belum memadai ditambahkan kortikosteroid misalnya prednison
(sesuai petunjuk dokter). Pada urtikaria yang sering kambuh terutama pada anak
sekolah, untuk menghindari efek samping obat mengantuk, dapat diberikan
antihistamin penghambat H1 generasi baru misalnya setirizin 0,25 mg/kg/hari
sekali sehari. hindari faktor-faktor yang dapat memicu (pada penderita ini :
aktivitas fisik yangberlebih ). Medikamentosa : antihistamin generasi II :
desloratadine 10 mg 1x perhari dan pada malam hari ditambahkan antihistamin
generasi I : feniramine hidrogen maleat 25 mg 1x perhari. Dalam 1
minggu pengobatan tidak memberikan hasil yang memadai, di tambahkan methyl
prednisolon 2 x 16 mg. Setelah 1 minggu pengobatan berangsur mulai ada
perbaikan,
Pemberian
antihistamine dilanjutkan dengan dosis yang sama, sementara dosis methyl
prednisolon diturunkan menjadi 2 x 8 mg . Pada pengamatan 1 minggu
berikutnya ; keluhan sudah jauh berkurang, dan lesi kulit minimal, dosis methyl
prednisolon diturunkan menjadi 2x 4 mg, sementara dosis antihistamin
lanjut. Pada saat kontrol 1 minggu berikutnya ; keluhan gatal dan bentol
kemerahan kecil kadang muncul dapat pagi kadang juga sore pemicunya tidak jelas
; saat itu hanya diterapi dengan antihistamin saja, serta selalu memperhatikan
faktor-faktor yang sekiranya mungkin sebagai pemicu kekambuhan walaupun sampai
terakhir belum jelas.
8.
PENCEGAHAN
·
Pengobatan
yang palin utama adalah ditujukan pada penghindaran faktor penyebab dan
pengobatan simtomatik.
·
Pada
urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distres pernafasan, asma atau
edema laring,mula-mula diberi larutan adrenalin 1% dengan dosis 0,01 ml/kgBB
subkutan (maksimum 0,3 ml),dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat
H1 (lihat bab tentang medikamentosa).Bila belum memadai dapat ditambahkan
kortikosteroid.
·
Pada
urtikaria akut lokalisata cukup dengan antihistamin penghambat H1.
·
Urtikaria
kronik biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah tetap identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit dilakukan. Untuk ini
selain antihistamin penghambat H1 dapat dicoba menambahkan antihistamin
penghambat H2. Kombinasi lain yang dapat diberikan adalah antihistamin
penghambat H1 non sedasi dan sedasi (pada malam hari) atau antihistamin
penghambat H1 dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus
berat dapat diberikan antihistamin penghambat H1 dengan
kortikosteroid jangka pendek.
9.
PROGNOSIS
·
Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik,
dapat sembuh spontan atau dengan obat.
·
Tetapi karena urtikaria merupakan bentuk kutan
anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi obstruksi jalan nafas karena adanya
edema laring atau jaringan sekitarnya, atau anafilaksis sistemik yang dapat
mengancam jiwa.
·
Penyakit
ini bisa remisi spontan pada 33,2% pasien.setelah 1 tahun 50% pasien menjadi
bebas gejala. Tetapi penyakit ini dilaporkan bisa mencapai sampai 20 tahun pada
20% pasien 4,5,11.
·
Urtikaria
akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
10.
EDUKASI
·
Menjelaskan
kepada pasien tentang penyakit urtikaria perjalanan penyakit urtikaria yang
kambuh- kambuhan dan tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang
adekuat karena terkadang sulit untuk mengetahui penyebab urtikaria kronik.
·
Menghindari
faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alkohol, dan agen
fisik.
·
Menghindari
penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari
agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
11.
JENIS
HIPERSENSITIFITAS MENURUT GELL DAN COOMBS
REAKSI HIPERSENSITIFITAS
Hipersensitivitas
yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut
Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway
dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang
disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau
reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe
III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity)
yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang
terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme Alergi ─ Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas
tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah
antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai
anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau
sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks
et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
- Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
- Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
- Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I
- Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
- Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
- Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
- Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
- Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
- Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.
KESIMPULAN
Ø Reaksi
hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE.
Ø Alergi
dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup.
Ø Sifat
alergi mempunyai kemungkinan diturunkan.
Ø Diagnosis
penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit, dan
apabila perlu tes provokasi.
Ø Cara
terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu dapat
digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan.
DAFTAR PUSTAKA
v Malcolm W G. Chronic urticaria ;
pathophysiology, diagnosis and treatment. JACI – APAPARI. Joint Meeting 2006.
v Retno W S. The Role of Non Sedating
Antihistamine in Management of Chronic Idiopathic Urticaria. JACI – APAPARI.
Joint Meeting 2006.
v Javed S. Urticaria.Last Updated : November
19, 2004. E-Medicine 2004.
v Kaplan AP. Chronic urticaria: Pathogenesis
and treatment. J Allergy Clin Immunol 2004; 114:465- 74.
v Kaplan AP. Chronic urticaria and angioedema.
NEngl J Med 2002; 346:175-79.
http://nerdyna.blogspot.com/2011/09/bercak-merah-pada-kulit.html?showComment=1404533652885#c5086314266750668690