Bibirku terkunci.
Mungkin terbungkam. Hanya beberapa detik lalu aku meneruskan
“ Bisa kan kamu
tidak menggombaliku lagi? Aku muak melihatmu”
“Muak untuk apa? Aku
menjijikan?”
“Iya Vinto! “
“Jika begitu,
dulu kamu tak kan pernah memberi ijin untuk ku mencintaimu kan”
“Lupakan”
“Kamu terlalu
sulit dilupakan Resa”
“Ah minggir saja!
Aku mau pulang”
Pria itu
mempertahankan tanganku, mencoba mendekapku tapi aku mengusik keinginannya. Sepertinya
terlalu kejam, tapi aku tidak bisa seperti ini berlarut-larut.
“Dengar aku akan
menceritakan sesuatu padamu”
“Tentang apa Res?”
“Perlakuanmu”
“Sekarang?”
“Besok saja. Aku lelah”
Seharian itu aku
memikirkan bagaimana aku harus memulai. Bagaimana aku meneruskan percakapan
yang tadi siang ku janjikan pada Vinto. Aku tak bisa memberinya kesaksian yang
langsung jelas, aku takut menyakitinya meskipun aku belum jadian dengannya.
Tapi aku merasakan hal yang berbeda. Justru aku ingin menyembunyikan semua ini
karena aku mencintainya. Iya, sepertinya. Tapi disisi lain? Pria baik itu? Yang
selalu mengantarku pulang? Berjalan disampingku? Ah besok saja. Aku harus
berhenti mengangan, ini sudah larut malam. Lebih baik aku tidur saja agar tidak
terlambat memasuki pintu gerbang yang mewah itu .
Siang harinya
setelah aku memulai rencanaku, ku tuju taman bunga mawar yang dulunya bekas
hamparan sawah. Iya memang sangat indah. Dulu hamparan itu tak pernah dapat perhatian
dari orang-orang , tapi kini dia kembali menjadi pusat kerlingan semua orang
yang menyukai keindahannya terutama yang sedang menjalin cinta.
Kumulai pembicaraan
dengan pria yang sangat ku cintai
“terus terang..”
“bicaralah, bila
aku tak bisa menjawab pembicaraanmu, setidaknya aku sudah bisa menjadi
pendengar yang baik untukmu, jika selama ini sikapku..”
“tak usah kau
teruskan, aku hanya tak ingin perhatian sederhanaku membuatmu sakit dan aku
ingin mengakhirinya, karena kita memang tidak bisa bersama”
“ternyata itu
permasalahannya? Ada apa?”
“aku lelah dengan
semua yang kamu lakukan untuk membuatku terus dalam dekapanmu, dekapan itu menyesakkanku,
membuat urat-uratku terpelintir seperti saat aku kambuh dari sakitku”
“aku tak tau,
tapi aku tak kan pernah berfikir kalau aku tak bisa melihat senyumanmu”
“aku tahu , tapi
kedewaanmu tak pernah menuntunku bahagia. Kalau kamu gak bisa sebaik
dia, setidaknya kamu tak perlu sirik dan membenci. Apa hidupmu tak lagi
menarik?”
“tapi aku benci
pada siapa yang dekat dengan kamu!”
“dan aku tak
boleh membenci gadis yang tiap hari kau perhatikan lebih dari aku! Iya?”
“aku... “
“aku yang akan
pergi, aku yang akan meminta maaf atas kesalahan kamu pada Rendra. Dia yang
selama ini memberiku nasehat dan selalu memberi bintang malam untuk menjagaku,
dia pangeran yang diam-diam memujaku dibelakangmu, tapi dia tak pernah berlebih
padaku seperti yang tak kamu pahami. Dia lah lelaki yang memberi kejelasan,
menopang tubuhku , menadahkan tangannya untuk menampung semua air mataku hingga
aku puas menangisi mu! Aku wanita, aku udah ngasih kejelasan tapi...”
“tapi aku tak
pernah ngasih kejelasan tentang kamu, aku ga bisa siap tangkap saat kamu jatuh
atau sakit, atau moody, aku gak pernah ngerti apa yang wanita rasakan dan aku
sibuk dengan urusan aku sendiri”
“iya, kamu juga
yang menjadikanku pelampiasan untuk cintamu yang pernah gagal, aku yang bodoh
berpura-pura sayang meski aku tahu kamu tak mungkin menyayangiku setulus hati” -masih berlanjut di Andai Kalian tak Pernah Hadir di Hidupku (2)
No comments:
Post a Comment