Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas
menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari
sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan
Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus
memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah).
Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah
saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan
evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa
nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits
di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses)
adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah
kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi
yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan
menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah
kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit
dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat.
Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing
untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah
yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka
panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan
duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan
ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan
hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS.
Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah
yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari
kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci
kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya
setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh
Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan
beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir
ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang
muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya
tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat
dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai
kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya,
serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat.
Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka
peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu
kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’,
memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya,
membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak
ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan
hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan
khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana
dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai
berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya
kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta
ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan
mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam
Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan
ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai
urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah
(evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan
bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang
yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang
dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi
ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa
orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir
kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun
memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab
dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang
hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana
dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin
Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada
tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga
beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan
bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau
melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang
senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah
memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi
lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir
akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk
mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan
dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada
hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’
(21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama
kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena
ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini.
[QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek
kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan
ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap
bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh
pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw.
bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau
bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat,
hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya,
masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya
dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’
(HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang
tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial,
dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.
Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang
digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah
ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang
bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami
adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang
yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat,
namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan
harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang
tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala
pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya,
diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun
dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek
ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah
saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal
ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke
akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang
negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah,
memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala
kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya
tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa
orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga
jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat
tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek
ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut
dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi
dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul
karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan
kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi
yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini
yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam
skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah
yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah
kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu
sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga
akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah
dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi
dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya
menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang
jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini
menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan:
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf
(12): 108]
No comments:
Post a Comment