Andai kita mampu jujur sesama kita, bahwa
kebosanan bukanlah suatu aib. Andai aku, mereka, dia, dan mungkin kamu
bisa saling jujur antara sesama kita. Tentang rasa bosan dan penat di
antara kita, dan kita mencoba saling terbuka tentang rasa bosan itu. Dan
tak perlulah rasa sakit hati mendarah di dalam dada ketika kita tahu
bahwa ternyata kitalah yang menjadi obyek rasa bosan tersebut.
Seseorang terkadang rindu dengan suasana baru. Kehidupan baru. Atau
boleh jadi, rindu terhadap kumpulan cerita romansa masa lalu. Untuk
itulah kita mengenang bahwa terkadang dengan mengingat, rasa bosan akan
hilang dengan sendirinya.
Aku merasa sangat bosan. Saat ini. Sekarang juga.
Masa lalu yang aku coba bayangkan, atau masa depan yang aku coba
khayalkan, tidak memberi faedah terhadap rasa bosan yang menyerang. Aku
mengerti, darimana asal bosan itu hadir. Tetapi, aku tidak bisa katakan
dengan sejujur-jujur perkataan mengapa dia mampu hadir, dan mengapa aku
tidak sampai hati untuk mengatakan kepada dia yang menjadi sumber
bosanku. Aku paham, ini adalah perasaan temporer.
Aku bukan pemain catur yang handal. Yang mampu me-reka dengan bijak
sepuluh langkah ke depan dalam hidupku. Bukan pula seorang plainer, yang
mampu merencanakan kehidupan berpuluh-puluh tahun ke depan hendak
menjadi apa. Aku cuma seorang manusia yang berjalan sesuai dengan
jalannya. Aku mengikuti ke mana arah jalanku menuju, karena toh,
setinggi-tinggi aku terbang, aku akan kembali pula kepada Tuhan.
Aku tidak pernah berani mengambil keputusan. Ketika ucap kata
kebosanan aku ceritakan, apa yang akan terjadi dengan hati setiap orang
yang mendengarkan. Aku lebih senang berbicara dengan bahasa bersayap.
Orang-orang menjadi tidak paham, bahwa merekalah yang sedang aku
ceritakan. Di depan mereka, di hadapan muka mereka, aku ceritakan
tentang diri mereka sendiri. Dan mereka masih mampu memberikan saran
tentang apa yang harus aku lakukan, tanpa mereka mau mengeja saran yang
sama dalam kehidupan mereka.
Kehidupan adalah siklus. Sebuah putaran tanpa pangkal dan ujung. Hari
ini engkau membenci, esok mencintai, esok menyakiti, esok menghargai,
esok engkau ingkari, esok khianati, esok sebenci-benci, esok kembali
mencintai.
Beberapa manusia adalah lakon yang tidak memiliki suara tertahan.
Mereka berjalan dengan kebencian di sekeliling mereka. Mereka lebih
menghargai diri mereka sendiri dibandingkan menghargai orang lain.
Kadang aku merasa sangsi, apakah mereka itu yang disebut dengan
kebebasan. Mereka bebas dengan rasa bosan di dada mereka lantas mereka
keluarkan. Pada lakon yang lain, mereka merutuki diri mereka sendiri
terhadap rasa bosan yang mendera. Mereka meringkuk dengan mengaduh
kepada orang lain.
Aku tidak bisa seperti mereka. Tidak mampu menyuarakan rasa bosanku
terhadap mereka yang menjadi sumber bosanku. Tidak pula mampu meringkuk
mengaduh kepada orang lain terhadap mereka yang ingin aku umbar mengapa
menjadi rasa bosanku. Aku tidak mampu.
Apakah aku adalah lakon yang paling buruk. Mereka yang terperangkap
tanpa menemukan pintu keluar. Lakon yang cuma mampu membisu. Lakon
dengan hidup: SUARA YANG TERTAHAN.
(M Baiquni)